Memiliki warga negara yang cerdas sangat dibutuhkan suatu negara. Setiap bangsa dan negara pasti ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mencapai tujuan serta cita-citanya. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suatu bangsa sangat membutuhkan warga negara yang cerdas, tidak terkecuali bagi negara Indonesia. Melalui warga negara yang cerdas tidak saja akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, tetapi melalui warga negara yang cerdas juga akan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa serta menjadikan bangsa ini memiliki nilai kompetitif yang tinggi (kompetitifnis) dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itulah melalui pendidikan kewarganegaraan yang diberikan di persekolahan diharapkan akan dapat melahirkan tidak saja warga negara yang baik, tertapi juga warga negara yang cerdas.
Kecerdasan warga negara meliputi banyak hal atau meliputi berbagai dimensi, sehingga dalam pelaksanaannya semua kecerdasan tersebut harus dilakukan secara seimbang, tidak hanya dalam dimensi intelektual sebagaimana selama ini seringkali dilakukan. Melalui PKn warga negara diharapkan memiliki kecerdasan yang jamak. Adapun kecerdasan-kecerdasan jamak dimaksud, yang harus dimiliki warga negara Indonesia meliputi : kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan bahkan kecerdasan moral (Moral Qoution) (Nurmalina dan Saifullah: 2008 )
Sekolah tidak boleh hanya mengembangkan kecerdasan intelektual tanpa diikuti pengembangan kecerdasan emosi, spiritual serta moral. Lebih lanjut Nurmalina dan Saifullah megatakan bahwa kecerdasan intelektual harus di dasari (di back-up) oleh kecerdasan emosional, spiritual dan bahkan kecerdasan moral. Jika tidak maka akan dapat terjadi dan “sudah seringkali terjadi” kecerdasan intelektual yang dimiliki seseorang disalah gunakan. Penggunaan kecerdasaan intelektual tanpa dilandasi oleh kecerdasan emosional, spiritual dan moral seringkali bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku. Di dalam kehidupan masyarakat seringkali terjadi kecerdasan intelektual dipresentasikan dengan berpikir rasional yang didukung oleh nalar, namun mengabaikan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Muara dari semua itu, dapat menggiring manusia menjadi manusia yang sombong, angkuh atau congkak. Menganggap dirinya yang paling benar, dirinya yang paling pintar, dirinya yang paling bisa, sementara orang lain dianggap semuanya bodoh sehingga lebih rendah. Bahkan dengan hanya memiliki kecerdasan intelektual tanpa dilandasi kecerdasan yang lain, manusia manganggap akal atau rasio sebagai sumber utama dan satu-satunya sumber kebenaran.
Kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki seseorang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perbuatan menghargai orang lain serta menghormati kepentingan orang lain. Dengan memiliki sikap-sikap seperti itu dapat membimbing dan mengarahkan seseorang menjadi orang yang peka, peduli dan respek kepada sesamanya. Sehingga manusia dapat bersikap toleran, mau menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Sikap-sikap yang mencerminkan kecerdasan emosional tersebut dapat menciptakan suasana yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang lambat laun akan dapat mencairkan pertentangan-pertentangan potensial yang ada.
Masalah-masalah yang ada dalam kehidupan tidak akan bisa selesai hanya dengan kesabaran atau perasaan sabar (kecerdasan emosional). Adanya inisiatif, kreatifitas serta nalar (kecerdasa intelektual) sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu pengelolaan emosi (“kecerdasan emosional”) juga membutuhkan menggunakan kecerdasan intelektual seperti : nalar, logika maupun bakat. Jika tidak bisa saja terjadi, sesorang hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa (sebagai cermin kecerdasan emosional) ketika menghadapi suatu masalah. Oleh karenanya, antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional saling membutuhkan dan dipadukan secara seimbang. Kecerdasan emosional tanpa didukung oleh kecerdasan intelektual menjadikan orang tidak berbuat apa-apa, sementara kecerdasa intelektual tanpa di dasari kecerdasan emosional menyebabkan seseorang menjadi sombong, angkuh, egois. Substansi dari kecerdasan intelektual adalah nalar, sedangkan substansi kecerdasan emosional adalah perasaan atau mood.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kecerdasan intelektual hanya menyumbang tidak lebih dari 20% untuk keberhasilan seseorang dalam hidup. Hampir 80% keberhasilan seseorang dalam hidup ditentukan oleh kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti : emosional, spiritual dan sosial. Artinya bahwa seseorang tidak bisa mengharapkan keberhasilan dalam hidupnya hanya dengan mengandalkan kecerdasan Intelektual yang dimiliki. Terlebih dalam era sekarang ini orang sangat perlu memiliki jaringan, sangat butuh akan kehadiran orang lain. Semakin banyak teman, semakin banyak jaringan merupakan modal utama bagi keberhasilan seseorang. Untuk dapat menjalin teman dan menciptakan jaringan, seseorang harus bisa dan mampu mengelola emosi. Seseorang tidak boleh bersikap egois kalau ingin memperoleh teman. Orang yang egois, adalah orang yang hanya mau menangnya sendiri, orang yang mengedepankan kepentingannya sendiri, tidak mau peduli pada kepentingan orang lain. Hanya orang yang pandai dan cerdas mengelola emosinya atau dengan kata lain hanya orang yang memiliki kecerdasan emosional akan disenangi orang lain, karena orang seperti itu pandai menyenangkan hati orang lain, orang yang suka berempati pada orang lain. Dalam kehidupan berlaku hukum resiprositas (tibal balik) sebagai hukum kodrat atau hokum alam yang menimpa setiap individu manusia. Seseorang cenderung akan besikap baik pada orang yang juga bersikap baik kepadanya, orang akan cenderung bersikap jahat sebagai balasan sikap jahat yang dilakukan orang lain kepadanya, demikian seterusnya.
Berdasarkan hasil penelitian, orang-orang yang kurang melatih keseimbangan kecerdasan emosionalnya akan dapat mengkibatkan hal-hal sebagai berikut, antara lain:
- Gampang merasa kalut ketika terjadi peristiwa buruk yang menimpanya
- Kurang dapat melakukan kerjasama (tim work), dan mudah retak atau tidak tahan lama dalam menjalin kerjasama dengan orang lain
- Kurang dapat mengendalikan diri karena emosi yang mudah meledak-ledak, sehingga gampang kalap
- Mudah sekali kehilangan motivasi, maupun inspirasi
- Mudah bertindak melampaui batas (kebablasan) atau sebaliknya yaitu tidak berani bertindak karena terlalu hati-hati yang akhirnya tidak berbuat apa-apa.
Kecerdasan Spiritual (SQ) berkenaan dengan penanaman, pemahaman serta pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual, sikap dan perbuatannya selalu dipancari nilai-nilai agama yang diyakini yang memiliki kebenaran mutlak. Di dalam pikiran manusia bersemayam suatu titik yang disebut Titik Tuhan (God Spot) atau hati nurani atau kata hati atau ada yang menyebut dengan Insan Qolbu. Titik inilah yang menjadi pilar dari kecerdasan spiritual. Adapula yang menyebutnya dengan kecerdasan hati. Kecedasan Spiritual atau kecerdasan hati dapat diasah atau dilatihkan. Kecerdasan hati dapat menjadi cerdas dengan cara membiasakan dalam setiap menangkap, memahami serta mengamini kebenaran selalu menggunakan hati. Hati yang diberikan oleh Sang Pencitpa Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya baik dan bersih. Suara hati atau Insan Qolbu tersebut selalu mengarahkan orang untuk bersikap dan berbuat baik. Dalam perkembangannya sangat bergantung pada lingkungan di tempat dia dibesarkan. Disinilah dibutuhkan adanya pembiasaan atau dilatihkan.
Orang yang cerdas secara spiritual, adalah orang yang memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut , antara lain :
- Kuat tapi tidak keras karena memiliki kelenturan. Orang sperti ini ibarat air pelan namun pasti batu yang demikian kuat sekalipun bisa habis terkikis
- Tahu akan kemampuan diri sendiri, karena selalu mau introspeksi diri, sehingga sadar diri
- Kualitas hidupnya didasarkan pada visi ke masa depan dan selalu berpedoman pada nilai-nilai kebenaran. Masa lalu merupakan pengalaman yang dipakai sebagai pijakan dalam mejalani kehidupan hari ini, dan kemudian dipakai merancang kehidupan di masa depan. Semua itu didasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama yang
- Memiliki kemampuan untuk tidak melakukan hal yang tidak penting. Orang yang memiliki kecerdasan religious tidak pernah membuang-buang waktunya secara Segala aktivitas yang dikerjakan bermanfaat guna kehidupan hari ini maupun di kemudan hari
- Memiliki kemampuan untuk menemukan alasan, jawaban dan makna hidup. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual memahami betul apa, mengapa dan bagaimana cara hidup yang benar. Oleh karena itu setiap gerak langkahnya selalu beralasan dan diarahkan untuk menjawab makna hidup yang
- Memiliki kemampuan untuk menolong dan berbuat baik kepada orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual memiliki kesadaran bahwa semua makhluk yang ada di bumi adalah ciptanNYA, maka kesadaran ini mendorong dan menjadi alas an seseorang untuk menolong orang lain.
Sementara orang yang tidak memiliki kecerdasan spiritual karena tidak mau mendengarkan suara hatinya, memiliki kekurangan-kekurangan sebagai berikut :
- Cenderung menjadi fanatisme buta terhadap kebenaran maupun keyakinan karena tidak dicerahkan oleh intelektualnya
- Orangnya menjadi sadis, brutal dan cenderung melakukan tindakan negative
- Mudah sekali lepas kontrol dan menyalah gunakan kekuasaan
Apabila menyimak uraian tersebut di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa warga Negara yang ingin dibentuk melalu mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah warga Negara yang memiliki multi kecerdasan atau kecerdasan yang utuh. Yakni warga Negara yang memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral. Dengan kata lain wrga Negara yang dibentuk adalah warga Negara yang cerdas otak/akalnya, cerdas perasaannya, cerdas hatinya dan cerdas moralnya.
Sumber : Penunjang PLPG PPKN Tahun 2017